Kata ini sangat menjengkelkan bagi para produsen atau mereka-mereka yang cinta pada produksi dalam negeri. Ini tidak lain karena sering menyebabkan kekacauan harga dan melorotnya harga di tingkat produsen. Bagi para pedagang, import bisa menguntungkan bisa pula merugikan. Bagi pengimport tentu saja merupakan bisnis yang sangat menggiurkan karena tinggal angkat tilpun, kontak sana sini, sediakan dana untuk beli dan memperhitungkan biaya-biaya siluman yang biasa dilakukan oleh "pemalak" maka sudah bisa diperkirakan berapa keuntungan yang diperoleh. Apalagi jika dalam jumlah besar maka sudah pasti keuntungan besar pula yang didapat. Kondisi yang membentuk mafia ini sampai sekarang sulit untuk diberantas karena melibatkan banyak pihak dan menggurita. Bagi pedagang yang menggantungkan pada produk dalam negeri, ini bisa menggerus keuntungan yang diperoleh. Namun lagi-lagi yang sangat tidak diuntungkan adalah pihak produsen, bisa-bisa tekor karena tidak mampu bersaing harga di pasaran. Biaya produksi tidak sesuai dengan harga pasaran ...kondisi semacam ini bila dibiarkan terus akan makin mengurangi jumlah produsen dan lapangan kerja yang diciptakan. Sifat yang mau mudahnya sendiri yang dimiliki oleh kalangan importir ini diperparah oleh sikap sebagian masyarakat yang tidak nasionalis. Mereka lebih suka mengimport daripada mengeksport. Berbagai pihak menggembar gemborkan mudahnya melakukan import dan keuntungan yang bisa dengan mudah diperoleh dibanding mempromosikan produk-produk dalam negeri ke dunia luar. Bila langkah yang disebut terakhir ini lebih merajalela dan menggurita maka cuan yang bisa diperoleh akan mampu mensejahterakan masyarakat berbagai lapisan/strata sosial.
Beberapa waktu yang lalu, kita disibukkan oleh berita import beras yang selama beberapa tahun ini selalu dilakukan menjelang panen raya. Ini tidak saja mempengaruhi psikologis para petani yang berhasil menanam padi tetapi juga merusak harga gabah di tingkat petani. Maka jangan heran kalau kemudian masyarakat sudah malas menjadi petani dan lebih senang menjadi buruh pabrik dan menjual lahan sawahnya. Menjadi buruh pabrik dirasa lebih menguntungkan karena perputaran uangnya jauh lebih cepat daripada bertani dan berkebun. Akibatnya bisa jadi suatu saat akan terjadi kelangkaan pangan dan harga barang/komoditas pertanian meroket. Ketidakpekaan pengambil keputusan dan para wakil rakyat terhadap berbagai keluhan yang terjadi di masyarakat bisa menjauhkan masyarakat dari tujuan pembangunan nasional yang disampaikan dalam mukadimah/pembukaan UUD45. Kalau sudah begini, siapa yang berani mengacungkan telunjuk dan mengatakan: sayalah yang bertanggungjawab?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar