Senin, 28 Oktober 2019

Suara rimbawan ...


Mengapa masyarakat sekitar hutan belum sejahtera??
Ada beberapa sebab. Yang pertama karena kurangnya pengetahuan mengenai pengelolaan lahan yang baik. Akibatnya tidak ada kemajuan yang ditampakkan oleh masyarakat untuk memajukan fungsi ekonomi dan meningkatkan ekonomi masyarakat setempat. Yang kedua, adanya pembukaan lahan yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya masyarakat sekitar hutan akan kehilangan lahan untuk bercocok tanam dan juga sebagai nilai ekonomi rakyat sekitar hutan.
(Fairuz Nur Indah P ; Hasna Afifah; Sekar Arum A.; Gabriel Batistuta H.; Arfathia Maulani M; Rifki Ghufron, Wilhelmus Medhavi; Windita Sakenia)

Penduduk sekitar hutan kekurangan fasilitas seperti listrik, internet, dan lainnya serta pendidikan yang tergolong masih rendah, sumber informasi sulit didapatkan, fasilitas kesehatan dinilai kurang dan terlalu bergantung pada alam yang sifatnya dinamis. Tingkat kesejahteraan itu sebenarnya tentatif atau subyektif karena setiap orang memiliki definisi sejahtera sendiri-sendiri.
(Fahriza Dwi I, Irham Muhammad Dhaffien, Azzahra RKP, Muhammad Fajar N, Nyayu Anisza, Muhammad David Hambali, Choirruriwayacanti)

Karena masyarakat sekitar desa hutan, walaupun tinggal di area hutan belum tentu memiliki kemampuan untuk mengelola hutan dan sumber daya alamnya. Solusinya adalah dilakukannya sosialisasi mengenai pentingnya pengelolaan hutan dan dilakukan training yang intensif tentang cara mengelola hutan. Selain hal tersebut dapat disebabkan oleh pengelolaan hutan oleh pemerintah yang tidak menerapkan prinsip bagi hasil dengan masyarakat. Solusinya adalah pemerintah seharusnya membentuk PHBM (pengelolaan hutan bersama masyarakat). Penyebab lainnya dapat disebabkan bila hutan yang menjadi fokus utama merupakan hutan milik perusahaan dan perusahaan tersebut hanya mementingkan kelola ekonomi/produksi saja tanpa memecahkan kelola sosialnya. Solusinya adalah meningkatkan aplikasi dan optimalisasi undang-undang tentang hutan produksi dan pengelolaannya. Yang ketiga adalah faktor hutannya sendiri. Maksudnya adalah suatu hutan memang memiliki vegetasi dan fauna yang beragam tetapi potensi keberagaman itu untuk dimanfaatkan tidak dapat dipastikan, misalnya pohon atau tumbuhan di hutan tersebut kebanyakan beracun sehinggga tidak dapat dimanfaatkan sama sekali. Hal itu dapat menyebabkan tidak terpenuhinya kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan tersebut. Solusinya adalah ada baiknya jika pemerintah dan masyarakat sekitar hutan bekerjasama membentuk area tumpang sari/agroforestri sehingga hutan masih eksis dan masyarakat dapat memperoleh manfaat dari hutan tersebut melalui hasil panen tanaman tumpang sari/agroforestry.
(Zabrina Gilda, Zefanya Zeske RFN, Sarah Anaba, Fahmi Idris F, Aslama Nuraulia, Alfiazka AA, Dicko Luhut FN, Wita S Sihaloho)

Berdasarkan SKH (survei kehutanan) 2014, diperoleh hasil bahwa masyarakat sekitar kawasan hutan masih memiliki kualitas sumber daya manusia yang rendah, bertumpu pada sektor pertanian dan bergantung pada sumber daya hutan. Beberapa daerah sudah terjangkau oleh pemerintah. Pemerintah mencanangkan program perhutanan sosial namun program ini belum maksimal ditambah masyarakat belum memiliki keinginan yang besar dalam mengelola hutan. Tidak berjalannya program ini menghambat perkembangan ekonomi masyarakat. Faktor penghambat peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah 1. Sumber daya manusia di sekitar hutan belum mampu mengelola sumber daya hutan karena tingkat pendidikan yang rendah. 2. Sarana prasarana belum memadai. 3. Bantuan dari pemerintah yang tidak tersalurkan dengan merata. 4. Pola pikir manusia yang modern sentris; 5. Masyarakat yang takut mencoba hal baru.
(Alita Gevanya, Bahrul, Putri Meila, Tsabita, Sari Mahira, Risky Annisa, Wilterza N, Raja, Wais Alghani)

Karena masyarakat sekitar hutan kebanyakan hanya menjadi buruh, bukan yang menjadi inisiator pengelolaan hutan yang biasanya orang-orang dari luar kawasan tersebut karena kurangnya pengetahuan masyarakat desa sekitar hutan mengenai tata cara kelola hutan. Banyak masyarakat sekitar hutan yang bergantung kepada sumber daya hutan sehingga mempengaruhi keadaan ekonomi masyarakat tersebut.  Sebagian besar masyarakat sekitar hutan merupakan petani pesanggem, tentu hasil yang didapatkan tidak menentu sehingga mengakibatkan lemahnya perkembangan ekonomi masyarakat desa di sekitar hutan. Kehidupan masyarakat menjadi lebih susah sehubungan dengan adanya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pihak pengelola hutan yang harus dipatuhi oleh masyarakat sekitar hutan untuk membantu menjaga kelestarian hutan serta adanya sangsi akibat pelanggaran yang dilakukan sehingga membuat gerak masyarakat sekitar hutan menjadi terbatas untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Berada dalam lingkungan yang dikelilingi hutan membentuk keterbatasan akses masyarakat untuk memperoleh informasi baru sehingga mereka cenderung tertinggal/terbelakang. Adanya perasaan akan segala sesuatu yang dibutuhkan telah tersedia di hutan membentuk pribadi masyarakat menjadi malas untuk lebih berusaha  dalam setiap kegiatan yang mendukung perekonomiannya.
(Fadel P Rabani, Riezcy Cecilia Dewi, Faza Meidina, Ranji Saptiadi M, Sheila Pertiwi, Muhamad Rifky, Muahmad Rizky D, Savira Qorry A, Hillaryana)


Senin, 21 Oktober 2019

Pendekatan sistemik dalam menangani banjir

Barangkali anda akan tertawa atau menertawakan mengapa saat ini bicara tentang banjir. Bukankah banyak daerah mengalami kebakaran hutan dan atau lahan? Bukankah waktu menunjukkan bahwa masih musim kemarau? Sejumlah pertanyaan yang menurut penulis wajar-wajar saja. Apa yang penulis sampaikan ini adalah untuk mengingatkan akan potensi datangnya banjir saat musim hujan mendatang sekaligus berkaca diri apakah pembangunan berbasis cuaca, musim dan iklim sudah mulai kita jalankan. Meskipun saat ini masih menginjak musim transisi di banyak wilayah di Indonesia khususnya yang mempunyai curah hujan tipe monsoonal namun di berbagai wilayah khususnya yang berada di Utara ekuator atau khatulistiwa sebagian sudah memasuki musim hujan. Ini bisa kita lihat dari citra satelit Himawari 8 dan pola streamline (garis arus) yang sudah sebagian mengarah timur laut meskipun beberapa waktu terakhir polanya berubah-ubah. Pembentukan pusat-pusat siklon atau gerak berputar dari pola angin yang berada di utara ekuator (ditandai dengan huruf C) menghambat untuk pembentukan hujan di banyak wilayah di tanah air. Pola streamline tersebut dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Masih banyaknya atau dominannya angin tenggara sampai timur di belahan bumi selatan mengindikasikan musim kemarau sampai dengan musim transisi menuju musim hujan. Kondisi mendatang dimana diprakirakan oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) banyak wilayah memasuki musim hujan pada awal bulan November 2019 bisa berpotensi menyebabkan banjir. Kondisi banjir mengakibatkan air meluap keluar dari sungai dan menggenangi areal persawahan, permukiman dan badan-badan jalan sehingga mengganggu ekonomi masyarakat, aktivitas sosial budaya, mobilitas transportasi, kerugian harta benda  dan sebagainya bahkan terkadang menelan korban jiwa.
Banjir terjadi oleh karena tiga faktor yakni intensitas hujan yang tinggi melebihi kapasitas infiltrasi, limpasan permukaan daerah aliran sungai sudah tinggi dan atau kapasitas sungai sudah menurun akibat sedimentasi di badan sungai atau menyempitnya sungai akibat sampah dsb. Tingginya intensitas hujan sebagai penyebab utama banjir umumnya relevan dengan banjir yang terjadi bukan pada awal musim hujan tapi pada pertengahan sampai akhir musim hujan karena pada saat tersebut tanah sudah mulai jenuh akibat hujan yang terjadi sebelumnya. Air tidak dapat lagi meresap ke dalam tanah tapi menggenang dan berjalan ke tempat yang lebih rendah. Faktor ini tidak dapat dicegah oleh manusia karena prosesnya sangat alami. Tingginya limpasan daerah aliran sungai (DAS) sebagai penyebab utama banjir akan relevan pada DAS yang penggunaan lahannya didominasi oleh pertanian yang pengelolaannya tidak mematuhi kaidah konservasi tanah, perubahan penggunaan lahan seperti misalnya yang tadinya hutan diubah peruntukannya menjadi non hutan, pemukiman, penggembalaan dan atau industri. Sedangkan faktor ketiga sebagai penyebab utama banjir relevan untuk DAS yang tingkat erosinya tinggi, banyak tanah longsor karena banyak penambangan liar dan penggundulan hutan, dan atau banyaknya sampah atau limbah padat yang dibuang ke sungai. Umumnya banjir terjadi karena kombinasi dari dua atau tiga faktor di atas.
Lahan kritis
Untuk mengelola risiko bencana banjir, kita tidak dapat mencegah terjadinya hujan lebat. Kita dapat mengurangi kemungkinan terjadinya bencana dengan mencegah atau memperbaiki lahan kritis. Meskipun sudah ada program reboisasi sejak tahun 1960an, luas lahan kritis bukannya berkurang melainkan semakin bertambah misal dengan adanya kebakaran hutan dan atau lahan. Belum diperoleh data terbaru namun coba lihat data Kalimantan Utara berikut ini.
Dari data tersebut memang belum diperoleh timeline dari wilayah yang sama namun setidaknya tabel tersebut menunjukkan betapa besarnya jumlah lahan kritis dan sangat kritis di propinsi tersebut.

Secara umum di Indonesia, lahan-lahan kritis dan sangat kritis kemungkinan bisa disebabkan oleh tiga faktor. Pertama karena ada oknum pejabat yang pura-pura tidak mengetahui ada penebangan liar yang terjadi di wilayahnya dimana barangkali dia juga diuntungkan oleh penebangan liar tersebut. Lahan penebangan tersebut diubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan yang hasilnya bisa jadi ditadah atau disalurkan oleh pihak-pihak tertentu. Oknum-oknum inilah yang membiayai penebangan ini. Faktor kedua adalah kegagalan reboisasi yang telah dilakukannya sejak tahun 1960an. Kegagalan reboisasi pada tahun pertama bisa mencapai 50%. Karena pemeliharaan yang minim maka lima tahun pertama hanya tinggal beberapa persen saja yang tumbuh dengan baik, sisanya mati atau kerdil. Kemudian dilakukan penghijauan lagi yang waktunya sering tidak tepat. Anggaran turun akhir musim penghujan sehingga bibit yang kecil ditanam pada musim kemarau yang akhirnya mati juga. Faktor ketiga adalah kemiskinan yang diperparah oleh kebijakan pembangunan yang tidak pro masyarakat miskin. Pembangunan jalan tol, industri, dan pemukiman-pemukiman mewah yang memarjinalkan masyarakat miskin. Pemilik lahan mendapat ganti rugi namun biasanya jauh dari harga pasar. Buruh tani, pedagang pengangkut hasil pertanian yang kehilangan mata pencahariannya tidak mendapat ganti rugi. Mereka tergusur dan hanya memiliki dua pilihan, satu naik ke perbukitan dan membabat hutan yang ditanami tanaman hortikultura atau yang lain agar tidak mati kelaparan dan yang kedua adalah bermigrasi ke kota dan menambah jumlah kelompok marjinal.  Tapi itu dulu, saat jaman antah berantah. Sekarang kondisinya lebih membaik dan semoga tidak seperti yang digambarkan di atas. Penebangan liar dan pembakaran hutan dan lahan meskipun pernah mempunyai tren peningkatan, saat ini terjadi tren penurunan. Reboisasi yang dilakukan sudah mengalami peningkatan tetapi kebakaran hutan dan lahan memang menyebabkan usaha tersebut seperti sia-sia. Tidak ada salahnya untuk dilakukan lagi secara terus menerus agar supaya wilayah Indonesia makin hijau. Faktor kemiskinan juga menurun menjadi tinggal sekitar 9%.
Upaya mitigasi dan penanggulangan
Memperkecil konsekuensi bencana dapat dilakukan dengan menggunakan sifat curah hujan dan peta topografi. Berdasarkan data tersebut dapat direncanakan tata ruang pembangunan untuk menghindari penduduk terdorong ke perbukitan/pegunungan dan membangun permukiman di sana, pemetaan kerentanan dan risiko bencana. Dalam analisis mengenai dampak lingkungan harus secara eksplisit dicantumkan rekomendasi cara menangani rakyat miskin bukan pemilik lahan. Permukiman yang terlanjur ada yang mempunyai risiko bencana harus ditata ulang kembali atau direlokasi. Walaupun biayanya mahal namun hal ini sepadan dengan kalau tindakan kuratif yang dilaksanakan.
Cara lain adalah kita harus melakukan deteksi dini luas lahan kita kemudian diterapkan penjagaan terhadap kawasan-kawasan yang rawan bencana, tidak hanya tutupannya tetapi juga kondisi tanamannya yang memenuhi syarat ekosistem. Percepatan reboisasi lahan-lahan gundul semestinya dilakukan berpacu dengan waktu. Kerjasama antara KLHK dan instansi lain perlu juga digalakkan untuk memberikan penyuluhan konservasi tanah, memperkuat penanaman tanaman keras akar dalam di lokasi perkebunan, penguatan program kampung iklim (proklim) serta berbagai upaya mikro lainnya mengingat adanya kaskade skala kegiatan dsb. KLHK harus mendorong pembangunan hutan rakyat terutama di daerah miring dan hulu serta mendorong dihindarkannya permukiman di daerah endapan alluvial yang mudah longsor. Selain hal di atas kita juga harus mengembalikan fungsi hutan yang sesungguhnya yang sebenarnya multifungsi. Kadangkala kita terjebak hanya pada satu fungsi saja, misalnya hutan produksi hanya untuk tujuan produksi saja padahal hutan produksi juga mempunyai fungsi lindung atau sosial pada beberapa arealnya. Perlu dilakukan taga guna hutan mikro yakni tata guna hutan berdasarkan identifikasi karakteristik biofisiknya serta aspek sosial, ekonomi dan budaya sehingga mungkin bisa terjadi dalam hutan produksi ada area yang dikelola sebagai kawasan lindung atau sebaliknya. Pada kawasan hutan konservasi juga demikian. Mungkin pada zona tertentu yang memungkinkan dikelola untuk tujuan produksi atau peningkatan kesejahteraan masyarakat, tidak hanya untuk tujuan pelestarian keanekaragamanan hayati.
Perbaikan sempadan sungai, normalisasi sungai dengan mengatur agar sedimentasi tidak menyebabkan pendangkalan sungai (pengerukan sungai) dan perbaikan drainase merupakan langkah lain yang bisa ditempuh untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan hujan deras.
Selain hal yang telah dikemukakan di atas, momen musim kemarau merupakan momen yang tepat untuk pembangunan infrastruktur fisik seperti jalan tol, saluran irigasi, saluran drainase, gedung dan bangunan, jalur kereta cepat, instalasi listrik dan air minum serta yang lainnya. Jadi merupakan hal yang sangat penting untuk melihat cuaca, musim dan iklim dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Ini selain akan menghemat anggaran, juga akan menyebabkan percepatan dalam pembangunan infrastruktur. Percepatan-percepatan tanpa mengurangi kualitas bangunan dan ramping organisasi tapi padat fungsi sangat diperlukan dalam pembangunan. Pendekatan sistemik harus dilakukan sejak dini sehingga trilyunan rupiah bisa dihemat dari proses semacam ini.
Ketika semua itu sudah dilakukan maka semoga banjir yang akan datang tidak sehebat tahun-tahun sebelumnya. Banjir bukan lagi merupakan hal yang biasa namun menjadi hal yang sangat luar biasa karena sangat jarang terjadi. In sya allah. Aamiin. 

Pers dan Generasi Muda

 Beberapa waktu terakhir perkembangan teknologi informasi begitu meningkat pesat. Perubahan informasi terjadi dalam hitungan detik dan itu b...